Sabtu, 06 Oktober 2007

INI CERPEN SAYA YANG DIMUAT DI ANNIDA BEBERAPA BULAN SILAM. MOHON KOMENTARNYA...

PERJAMUAN MALAIKAT
Afifah Afra


Arafah, 9 Dzulhijah 1427H
Kurebahkan tubuhku di atas ambal sembari melafalzkan kalimat-kalimat thayibah. Aku ingin larut dalam kenikmatan dzikir, sehingga keganasan sel-sel tubuhku yang menuntut jatah kalori, berhasil kutaklukan. Namun, ternyata derajat kenikmatan yang kurasakan, masih juga menyisakan pemberontakan.
Hazbunallahu wa ni'mal wakiil, ni'mal maula wa ni'man-nashiir…
"Lihatlah, Nak!" Eyang Shobron, lelaki sepuh itu menyibak kain penutup tenda. "Itu adalah Jabal Rahman!" Ia menunjuk bukit yang menjadi salah satu batas Padang Arafah. "Itu adalah tempat pertemuan antara Nabi Adam dan Hawa setelah mereka dikeluarkan dari Surga."
Aku bangkit, mendongakkan kepala, menuju ke arah yang ditunjukkan oleh Eyang Shobron. Jabal Rahman yang kecokelatan, berdiri tegak di atas hamparan padang pasir. Awan hitam bergumpal-gumpal di atasnya, sementara angin kencang bermuatan butiran-butiran pasir berkali-kali menerjang tenda yang kami tempati.
Namun sekujur tubuh yang terasa lemas tak membuatku mampu berlama-lama berdiri. Aku pun hanya bisa menghela napas, berharap dengan helaan itu, lemak-lemak dalam tubuhku terbakar, dan aku mendapatkan tenaga baru yang mampu menyangga tulang belulangku.
"Lapaaar…," rintih seorang lelaki tua yang berbaring tak jauh dariku. Sebuah tasbih tergeletak di atas dadanya. "Ya Allah, aku lapar…"
"Sabar, Saudaraku!" Eyang Shobron mendekati lelaki yang mungkin seumuran dengannya itu. Bedanya, seperti yang menimpaku, lelaki itu terlihat lemas tanpa daya, sementara Eyang Shobron masih tampak bugar. Sepasang matanya yang dalam juga tak menyiratkan keletihan. Inilah yang membuatku diamuk cemburu. Aku masih berusia awal 20-an. Semestinya, aku jauh lebih gagah perkasa di bandingkan sosoknya yang kurus kering itu. "Lapar ini akan membuat kualitas dzikir kita semakin baik. Rasulullah bersabda, al hajju Arofah. Inti haji itu adalah Arafah. Dan sekarang, kita berada di Padang Arafah. Kesabaran atas apa yang Allah ujikan kepada kita, akan membuat haji kita semakin bermakna…"
Aku tercenung. Rasa-rasanya, kesombongan saat melangkah menuju pesawat menuju Jeddah, telah tergerus menjadi serpihan debu dan bercampur dengan pasir padang Arofah. Saat itu, aku membanggakan diriku yang merupakan calon haji termuda, baru berusia 21 tahun dan memiliki fisik yang sangat prima. Bayangkan, aku adalah bintang sepak bola di kampusku. Aku akan menjadi peserta haji paling bersemangat. Nyatanya…?
Hanya karena tak mendapat jatah ransum selama 2 hari, aku nyaris ambruk. Aku bahkan kalah dengan Eyang Shobron yang masih bertahan dalam kekusyukan dzikir saat wukuf di Arofah ini. Masih terlontar dari mulutku kalimat-kalimat menghujat pihak yang semestinya bertanggungjawab terhadap musibah ini.
"Ya Allah… saya lapaaar!" teriak jamaah yang lain, juga seorang lelaki tua. Di dalam tenda ini, lebih dari separuh adalah para manula.
"Saya juga lapar. Rasanya, saya tak kuat lagi…" rintih seorang manula yang lain. Ia bernama Eyang Jarwo. Sejak berada di Madinah, ia telah menjadi pasien rumah sakit. Saat wukuf di Arofah, yang merupakan inti ibadah haji, semua jamaah, baik sehat maupun sakit, memang harus mengikutinya. "Saya sudah pasrah jika Allah memanggil saya di sini. Mungkin kelaparan ini adalah teguran Allah kepada saya. Saat terjadi bencana tsunami di Aceh, gempa di Yogya, serta musibah-musibah lain, saya tidak pernah serius mengucurkan bantuan, padahal saya memiliki banyak harta. Sekarang, dalam keadaan seperti ini, harta sungguh tak mampu menolong saya…"
Eyang Shobron memandangi sosok Eyang Jarwo dengan mata berkaca-kaca. "Sabar, saya akan keluar sebentar. Mungkin ada jamaah negeri lain yang mau menyumbangkan makanan untuk kita…"
"Tidak, Eyang!" aku merangsek, mendekati Eyang Shobron. Allah, jika lelaki tua itu memang masih bertahan, itu semata karena ia memiliki tingkat kenikmatan dzikir yang mampu mengusir rasa lapar itu. Akan tetapi, keadaan fisik lelaki tua itu, mungkin lebih payah dibandingkan denganku. Berkali-kali aku melihat ia berjalan terhuyung-huyung, keluar dari tenda dan memandangi Jabal Rahman dengan air mata bercucuran. "Biar saya saja yang keluar. Saya masih kuat. Saya akan mencarikan makanan untuk Eyang Jarwo dan Eyang-eyang yang lain."
"Kita bersama-sama keluar, Nak!" Eyang Shobron tersenyum.

* * *

Langkahku terasa berat. Berkali-kali aku harus berhenti untuk menghela napas panjang-panjang. Namun, angin kencang bercampur pasir yang sebagian masuk ke hidung, membuat saluran pernapasanku terasa perih.
"Lapar?" seorang lelaki berbaju putih, kontras dengan kulitnya yang sehitam arang, menyodorkan sebutir apel merah. Air liurku menitik.
"Halal!" katanya.
Aku mengangguk. Kuterima apel itu dan kumasukkan ke tasku. Ia tersenyum, memperlihatkan sederetan gigi putihnya yang cemerlang. Air mataku menetes. Selama beberapa hari dalam proses ibadah haji, aku begitu membenci orang-orang berkulit hitam yang kunilai sangat kasar, tak tahu aturan apalagi sopan-santun. Ketika orang-orang dari bangsa Bilal itu lewat, maka orang-orang Melayu seperti kami, harus menyingkir jika tidak mau bertabrakan dengan badannya yang sebesar bulldozer. Belum lagi bau tubuh mereka yang teramat menyengat, membuat tak betah berlama-lama di dekatnya.
"Shodaqoh… shodaqoh! Nasi… halal!" tiba-tiba terdengar suara orang berteriak menggunakan pengeras suara. Namun, belum juga aku melangkah untuk mendekat, kulihat ribuan manusia berlari mendekati sebuah truk yang berisi tumpukan kardus makanan. Ya Rabbi… aku tercekat. Lautan manusia yang lapar itu, tampak begitu liar. Mereka saling sikut, saling dorong, saling jambak. Sebuah bogem mentah menyambar keningku ketika aku berusaha untuk mendekat. Terasa pening. Aku pun memilih untuk menyingkir, menjauhi kerumunan itu.
"Jangan lewat batas padang Arofah!" kulihat Eyang Shobron berteriak-teriak. "Jangan melewati batas. Haji kalian bisa batal! Jangan lewat batas!!!"
Lelaki yang mengasuh sebuah pondok pesantren di Jawa Tengah itu pernah bercerita, bahwa jika jamaah haji keluar dari batas padang Arofah, maka hajinya bisa batal. Akan tetapi, orang-orang yang lapar itu tak menghiraukan teriakan Eyang Shobron. Entah karena ketidakmengertian, ketidaksadaran, atau ketidakpedulian. Mungki sekotak nasi lebih berharga dibanding kesempurnaan beribadah haji.
Maka, aku pun menyaksikan ribuan manusia yang telah kehilangan kemanusiaannya. Ketika bala kelaparan menimpuk jiwa-jiwa itu, naluri serigala itu pun muncul dengan spontan. Kotak-kotak makanan itu saling diperebutkan, Sebagian rusak. Nasi-nasi dan lauk yang berada di dalamnya berhamburan mengotori tanah Padang Arofah.
"Nak, ini satu buatmu!" seorang lelaki berkopiah putih menyerahkan sebuah kotak makanan kepadaku. Aku mengucapkan terimakasih kepadanya. Namun, belum ada satu menit kotak itu berada di tanganku, seorang lelaki berkumis tebal mendadak merebutnya. Hampir saja aku berteriak jika nasehat Eyang Shobron tak segera terngiang di kupingku.
"Jagalah agar kau tidak sampai marah di ibadah wukuf ini!"
Aku pun hanya bisa menatap sosok itu dengan air mata mengucur deras. Hatiku semakin sakit, ketika melihat di tangan lelaki itu ternyata telah terjinjing sekitar 6 kotak makanan. Ia telah memiliki 6 kotak, mengapa masih juga merebut punyaku. Padahal, kotak ini akan kuberikan kepada Eyang Jarwo yang kondisi kesehatannya telah semakin payah.
Hanya sekitar seperempat jam peristiwa perebutan shodaqoh itu terpampang di depan mataku. Setelah itu, suasana kembali seperti semula. Yang tersisa adalah kardus-kardus rusak dengan nasi dan lauk yang berceceran.
"Nak, ini rezeki untuk kita!" Eyang Shobron tersenyum. Lalu ia menunduk. Ia mengambili nasi-nasi dan lauk yang masih bersih dan ia kumpulkan dalam kardus kosong. Isakku semakin keras. Namun, tanpa komentar, aku pun mengikuti langkah lelaki tua itu. Berpuluh-puluh, beratus-ratus bahkan mungkin beribu-ribu—karena ada jutaan manusia di Padang Arofah—pasang mata jamaah haji dari bangsa lain yang kebetulan melihat tragedi itu tampak tak mampu menyembunyikan perasaan harunya.
Namun, aku tak menghiraukan rasa malu yang sesaat menyergap. Terus saja aku mengumpulkan nasi dan lauk yang berserakan di atas tanah itu, yang ternyata bermakna sangat luar biasa bagi para jamaah di tendaku. Mereka menyambut kami sebagaimana menyambut para pahlawan. Sayang, nasi yang kami kumpulkan ternyata terlalu sedikit untuk mencukupi kebutuhan para penghuni tenda.
"Nak, kenapa kau tak makan?" tanya Eyang Shobron.
"Eyang sendiri, kenapa tak makan?" aku balik bertanya. Kami pun sama-sama tersenyum pahit.
"Ikhlaskan semuanya Nak, semoga malaikatlah yang nanti akan menjamu kita."
Mendadak aku teringat pada sebutir apel pemberian lelaki negro itu. Aku pun membuka tasku. "Kita bagi berdua, Eyang. Semoga bisa mengobati rasa lapar kita."
Aku membelah apel itu dengan pisau lipatku. Namun, belum juga aku memasukkan ke mulut, pintu tenda kami mendadak terbuka. Seorang kakek dengan tubuh gemetar memandangi kami.
"Istri saya sakit keras. Ia lapar, apakah anda memiliki makanan?"
Kutatap Eyang Shobron. Beliau mengangguk. Aku pun menyerahkan sebagian apel bagianku kepada kakek itu. Lelaki sepuh itu pun pergi, kembali ke tendanya.
"Ini, kau saja yang makan, Nak Faizal!" Eyang Shobron menyodorkan apel di tangannya.
"Tidak, Eyang! Itu milik eyang."
"Begini saja," Eyang Shobron meraih pisau lipat di tanganku dan membelah separuh apel di tangannya menjadi 2. Kami pun memakannya dengan air mata bercucuran. Bayangkan! Faizal Mubarok, adalah anak seorang pengusaha kaya raya di kota Surakarta yang tak pernah kekurangan apapun. Namun kali ini harus puas hanya dengan seperempat buah apel.

* * *
Muzdalifah, 10 Dzulhijjah 1427
Hawa malam di padang mahsyar ini begitu menusuk tulang. Aku merapatkan baju putih yang aku kenakan, sembari mengumpulkan batu-batu yang akan digunakan untuk melempar jumrah di Mina. Seperti tremor, sepasang tanganku bergetar karena dingin sekaligus lapar. 2 hari 2 malam, hanya ada seperempat buah apel dan beberapa teguk air yang masuk ke dalam lambungku. Dan hingga detik ini, jatah ransum yang mestinya kami dapatkan, ternyata tak juga datang.
"Nak, ganjallah perutmu dengan batu, itulah yang dilakukan Rasulullah ketika tengah menderita kelaparan," kata Eyang Shobron yang kubalas dengan senyum kecut. Tanpa beliau minta, aku memang telah menyumpal perutku, bukan dengan batu, namun dengan sebuah buku tebal yang kutekuk menjadi 2.
Setelah batu yang kukumpulkan kurasa telah cukup, aku kembali ke tenda. Kurebahkan tubuhku di atas ambal, dan kucoba memejamkan mata.
* * *

Tiba-tiba, sesosok tubuh tinggi besar berbaju serba putih, dengan raut wajah yang begitu menawan, membangunkanku.
"Akh Faizal, marilah ikut denganku?" tanya lelaki tampan itu.
Aku tertegun. Lelaki itu tak aku kenal sebelumnya. Namun kewibawaan yang terpancar begitu hebat, membuat aku tak hendak menolak. Bergegas aku bangkit. Aku tak mampu mengeluarkan sekecap pun suara. Hanya saja, langkahku terasa sangat ringan ketika mengikuti laju lelaki itu.
Ternyata, si tampan itu membawaku ke sebuah tenda yang luas. Sebuah permadani indah, yang baru pernah kulihat saat itu, terbentang. Dan yang membuat sepasang mataku terbelalak, adalah benda-benda yang tertata rapi di atas meja bundar. Ada semangkok besar nasi, piring berisi ayam panggang utuh, nampan berisi ikan kakap balado kesukaanku, bermacam buah-buahan, sup jagung manis, serta bergelas-gelas minuman segar.
"Silahkan dimakan, Akh Faizal. Semua ini, halal untukmu."
Aku terpaku dalam selaksa ketakjuban. Namun, aku tak menyia-nyiakan kesempatan yang dihadangkan lelaki tampan itu di depan mataku. Aku makan sepuas-puasnya. Rasa lapar yang berhari-hari membelitku, seakan sirna, tanpa bekas.

* * *
"Nak Faizal, bangun Nak!" suara Eyang Jarwo membuatku tersadar. Ya Allah, ternyata aku hanya bermimpi. Mimpi yang sangat indah. Kuraba perutku, Masya Allah… rasa lapar itu benar-benar telah hilang.
"Mas Shobron Nak… Mas Shobron…" ucapan Eyang Jarwo terdengar panik.
"Kenapa dengan Eyang Shobron?"
"Dia… tak bernapas lagi!"
Aku terperanjat dan segera melompat menuju tempat lelaki tua itu tergeletak.
"Satu jam yang lalu, saya bangunkan Mas Shobron. Ia terbangun, namun hanya sebentar. Ia bilang, katanya ia tengah dijamu malaikat dengan makanan-makanan yang lezat. Lalu ia tidur lagi… dan… sekarang ia tak bernapas lagi."
Kuperiksa detak jantung, pernapasan dan pupil mata Eyang Shobron. Tubuhku seakan menegang ketika kupastikan bahwa lelaki tua itu memang telah berpindah alam. Ada senyum manis tersungging di bibirnya, membuat sekujur tubuhku terasa merinding. Ya, dia tidak mati, ia tetap hidup dan diberi rizki oleh Illahi Rabbi, dalam Surga-Nya yang tinggi.

(Untuk Ayah-Ibu dan Guru Ngajiku, semoga hajinya mabrur).
Surakarta, Januari 2007